- Guru sebagai Penjaga Peradaban
Di balik kemajuan peradaban Islam, guru hadir sebagai penjaga ruh ilmu. Ia tak hanya mengajar, tetapi membimbing jiwa dan menyalakan cahaya di tengah gelapnya zaman. Guru memandu generasi menuju makna, bukan sekadar tumpukan teori.
Namun, perubahan zaman membawa dua krisis besar: krisis otoritas dan krisis adab. Prof. Naquib al-Attas menyuarakan kekhawatiran ini. Ia melihat bagaimana guru yang hadir hanya secara formal, tanpa karya dan kontribusi intelektual, kehilangan wibawa dan makna. Imam Adz-Dzahabi pun menegur ulama yang sibuk berkhutbah tanpa berkarya. Dalam Siyar ‘Alam An-Nubala, ia mencatat kemunduran spiritual dan intelektual sebagai penyebab utama kemunduran umat.
Kini, ruh guru mulai memudar. Masyarakat lebih menghargai gelar daripada kedalaman ilmu dan akhlak. Akibatnya, pendidikan Islam kehilangan identitasnya. Guru tak lagi

- Mengenal Prof. Dr. Mahmud Yunus: Tokoh Pendidikan Islam Indonesia
Prof. Dr. H. Mahmud Yunus (1899–1982) lahir di Sumatera Barat dan menempuh pendidikan tinggi di Universitas Al-Azhar dan Universitas Kairo, Mesir. Ia menjadi pelopor sistem madrasah berjenjang di Indonesia dan memperjuangkan masuknya pelajaran agama dalam kurikulum nasional. Ia menulis lebih dari 90 karya, termasuk Tafsir Qur’an Karim dan Kamus Arab–Indonesia.
Mahmud Yunus menekankan pentingnya keseimbangan antara dunia dan akhirat. Ia mendorong guru untuk mendidik dengan ruh dan adab. Menurutnya, pendidikan Islam harus membentuk manusia secara utuh: berpikir kritis dengan akidah yang kokoh, berempati terhadap sesama, dan bertindak dalam cahaya wahyu serta akal sehat yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dalam berbagai tulisannya, Mahmud Yunus menjelaskan tiga pondasi utama pendidikan Islam: penguatan akal, pembentukan karakter, dan penerapan ilmu dalam tindakan nyata.
- Tiga Pilar Pendidikan Islam
Pilar Kognitif: Mengasah Akal untuk Mengenal Allah
Pendidikan Islam mendorong pengembangan akal dan pemahaman. Guru mengajak siswa berpikir logis, menyelesaikan masalah, dan memahami tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta.
Contohnya, guru mengajak siswa camping. Di bawah langit malam, mereka duduk bersama, mempelajari rasi bintang, lalu mengaitkannya dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits tentang ciptaan Allah. Guru tak hanya mengajarkan astronomi, tetapi juga mengajak mereka bertadabbur dan menyadari kebesaran Sang Pencipta. Di sinilah ilmu pengetahuan bertemu dengan spiritualitas dan memberi kesadaran dunia dengan akhirat menjadi sarana dalam meraih keridhaanNya
Pilar Afektif: Karakter Muslim yang Bercahaya meski diterpa cobaan
Pendidikan afektif membentuk karakter yang berempati dan beradab. Guru yang memiliki ruh keteladanan mengajarkan bahwa berbuat baik kepada sesama adalah cerminan keindahan Islam.
Sayangnya, perilaku sebagian pemeluk agama menutupi keindahan perilaku dan sifat tersebut. Islam akan kembali bersinar jika ditampilkan dengan akhlak mulia. Muslim yang kaffah akan memancarkan cahaya ketika ruh adab ditanamkan sejak kecil. Guru dan orang tua yang disiplin dalam mencontohkan kebaikan dan menegur dengan cara yang bijak kepada anak-anak sehingga dapat membentuk generasi yang berakhlak.
Guru sejati tidak hanya menyampaikan materi, tetapi menjadi teladan hidup yang membentuk jiwa muridnya dalam perjalanan menjadi muslim yang sejati

Pilar Psikomotorik: Ilmu sebagai Tindakan dan Pengelolaan Dunia
Aspek psikomotorik bukan sekadar aktivitas fisik. Ia menjadi wujud nyata dari ilmu dan nilai yang telah ditanamkan. Dalam silabus berjenjang, guru memberi ruang bagi siswa untuk menerapkan ilmu melalui tindakan yang penuh empati dan pertimbangan dalam berbagai bidang.
Guru berdiri di garis depan, memberi contoh empati, menyelesaikan masalah dengan risiko kecil, dan menciptakan ketenangan bagi murid-muridnya.
Contohnya, siswa tidak hanya memahami dalil thaharah secara teori, tetapi juga mempraktikkan wudhu dengan benar, menjaga kebersihan sekolah, dan melatih muraqabatullah—kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi.
Guru yang memiliki ruh dan otoritas akan merancang pembelajaran yang melibatkan tubuh dan tindakan: praktik ibadah, keterampilan hidup, kerja kelompok, hingga kegiatan sosial. Di sinilah ilmu membentuk kesatuan utuh di bawah panji keislaman, dan nilai-nilai Islam menjadi mulai menyalakan pelita bagi umat.